“Jauh di Langit, Dekat di Hati”: Strategi Citra TNI AU Menyapa Publik Lewat Media Sosial
Oleh : Indan Gilang Buldansyah*)
Jakarta – Dari kokpit pesawat tempur hingga posko kebencanaan di daerah terpencil, satu kalimat terus muncul dalam linimasa media sosial TNI Angkatan Udara: “Jauh di Langit, Dekat di Hati". Slogan yang diusung Dinas Penerangan TNI AU (Dispen TNI AU) ini bukan sekadar penutup unggahan, melainkan telah menjelma menjadi identitas komunikasi publik TNI AU di era digital. Di tengah banjir informasi yang serba cepat, satu kalimat sederhana itu menjadi jangkar pesan yang menempel kuat di benak publik.
Melalui akun resmi Instagram, X, Facebook dan YouTube, TNI AU tidak hanya menampilkan kekuatan alutsista, latihan tempur, atau patroli udara. Publik juga diajak melihat sisi lain yang lebih humanis: evakuasi korban bencana dengan helikopter, pengiriman bantuan logistik ke wilayah terisolasi, bakti kesehatan gratis, hingga interaksi prajurit dengan warga di pelosok. Seluruh narasi itu dirangkai dengan satu benang merah yang konsisten: dekat di hati rakyat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa media sosial TNI AU tidak lagi sekadar menjadi papan pengumuman institusional, tetapi telah bertransformasi menjadi ruang strategis pembentukan citra. Di sinilah Teori Citra (Image Theory) bekerja secara nyata dalam praktik komunikasi publik.
Teori Citra dalam Komunikasi TNI AU
Dalam kajian komunikasi, Teori Citra pertama kali dipopulerkan oleh Kenneth E. Boulding(1956) melalui konsep imagesebagai gambaran realitas yang hidup di dalam pikiran manusia. Citra tidak selalu identik dengan realitas objektif, melainkan dengan bagaimana realitas itu dipersepsikan. Perkembangan teori ini kemudian diperkuat oleh Charles Fombrun (1996), yang menempatkan citra dan reputasi sebagai aset strategis bagi organisasi modern. Dalam kerangka ini, citra dipahami sebagai kumpulan persepsi, keyakinan, dan kesan yang terbentuk di benak publik terhadap suatu organisasi.
Citra tidak dibangun dalam satu kali komunikasi, melainkan melalui proses yang panjang, konsisten, dan berulang. Setiap pesan yang disampaikanbaik visual, verbal, maupun simbolikakan menjadi bahan baku bagi publik untuk membentuk persepsi. Media sosial, dengan karakter yang cepat dan masif, membuat proses pembentukan citra berlangsung jauh lebih intens dibandingkan media konvensional.
Di era digital, pembentukan citra organisasi sangat ditentukan oleh kekuatan narasi dan konsistensi simbol yang disampaikan melalui media sosial. Media sosial mempercepat proses pembentukan citra karena pesan dapat tersebar secara luas dan berulang dalam waktu singkat. Pengulangan slogan, visual, dan narasi yang konsisten dari waktu ke waktu akan membangun memori kolektif publik terhadap sebuah institusi, sehingga persepsi yang terbentuk menjadi lebih kuat dan stabil.
Dalam konteks TNI AU, slogan “Jauh di Langit, Dekat di Hati” berfungsi sebagai simbol utama pembentuk citra. Simbol ini terus direproduksi dalam berbagai konteks: operasi militer, misi kemanusiaan, hingga aktivitas sosial. Pengulangan simbol inilah yang dalam Teori Citra disebut sebagai proses reinforcement, yakni penguatan persepsi secara terus-menerus.
Charles Fombrun menekankan bahwa citra dan reputasi adalah hasil dari kesesuaian antara apa yang dikatakan organisasi dan apa yang benar-benar dilakukannya. Dalam bukunya Reputation: Realizing Value from the Corporate Image, Fombrun menyebutkan bahwa reputasi yang kuat lahir dari konsistensi antara pesan, kinerja, dan perilaku.
Prinsip ini sangat relevan dengan praktik komunikasi TNI AU. Slogan yang menekankan kedekatan emosional tidak akan bermakna jika tidak dibuktikan melalui tindakan nyata di lapangan. Justru karena itulah, momen operasi sosial dan kemanusiaan menjadi konten penting yang memperkuat pesan “dekat di hati”.
Slogan sebagai Alat Pembentuk Persepsi Publik
Pakar komunikasi massa UNPAD, Prof. Dr. Dadang Rahmat Hidayat (2018), menilai slogan dalam komunikasi publik berfungsi sebagai alat framing simbolik yang kuat. “Slogan bekerja pada wilayah kesadaran publik. Ia menyederhanakan pesan yang kompleks menjadi satu makna yang mudah diingat. Ketika diulang terus-menerus, slogan akan membentuk asosiasi otomatis di benak masyarakat,” kata Dadang.
Asosiasi itulah yang terlihat dalam respons warganet terhadap unggahan TNI AU. Kolom komentar kerap dipenuhi ungkapan terima kasih, rasa bangga, hingga doa keselamatan bagi para prajurit. Banyak warganet menyebut TNI AU sebagai “penjaga langit sekaligus penolong rakyat”. Respons ini menunjukkan bahwa slogan tidak berhenti sebagai teks, tetapi telah menjelma menjadi makna yang hidup dalam persepsi publik.
Dalam Teori Citra, kondisi ini dikenal sebagai current image, yakni citra aktual yang hidup di benak masyarakat. Current image dibentuk oleh apa yang dilihat, dibaca, dan dialami publik dari waktu ke waktu. Media sosial mempercepat pembentukan citra ini karena pesan dapat diakses secara visual, emosional, dan simultan.
PergeseranKomunikasi Militer di Era Digital
Fenomena penggunaan slogan ini juga mencerminkan pergeseran besar dalam komunikasi militer modern. Jika dahulu komunikasi pertahanan cenderung tertutup, kaku, dan satu arah, kini bergerak ke arah yang lebih terbuka, dialogis, dan berorientasi pada publik. Media sosial menjadi ruang baru untuk membangun kepercayaan, bukan hanya menyampaikan informasi strategis.
Dalam kerangka Teori Citra ala Boulding dan Fombrun, pergeseran ini menunjukkan bahwa institusi militer kini tidak hanya bertarung di wilayah udara, darat, dan laut, tetapi juga di ruang persepsi publik. Citra menjadi bagian dari kekuatan nonmiliter yang menentukan tingkat legitimasi dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Melalui slogan “Jauh di Langit, Dekat di Hati”, TNI AU secara sadar membangun narasi bahwa kekuatan udara tidak identik dengan jarak emosional. Justru di tengah tugas strategis menjaga kedaulatan udara, TNI AU ingin tetap dipersepsikan sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri.
Di era digital, pertahanan negara tidak hanya soal senjata dan teknologi, tetapi juga soal kepercayaan publik. Dan dalam pertarungan citra itulah, satu kalimat sederhana terbukti memiliki daya yang besar: menjembatani langit dan hati rakyat Indonesia.
Tantangan Konsistensi antara Pesan dan Realitas
Meski demikian, Teori Citra juga menegaskan bahwa citra bersifat dinamis dan rentan. Citra yang positif dapat menguat jika pesan dan tindakan selaras, tetapi juga dapat runtuh dengan cepat jika terjadi ketidaksesuaian.
Di ruang digital, publik memiliki kontrol yang sangat besar untuk menilai, mengkritik, bahkan mengoreksi citra yang tidak sesuai dengan realitas. Setiap ketidaksesuaian antara pesan yang dikomunikasikan dan praktik nyata di lapangan dapat dengan cepat diketahui dan disebarluaskan oleh masyarakat. Oleh karena itu, simbol dan slogan organisasi harus selalu dikawal oleh tindakan nyata, agar citra yang dibangun tidak hanya berhenti pada tataran wacana, tetapi benar-benar tercermin dalam perilaku institusi.
Hal ini menunjukkan bahwa slogan “Jauh di Langit, Dekat di Hati” bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga komitmen moral yang harus dibuktikan lewat kinerja nyata prajurit TNI AU, baik dalam operasi pertahanan maupun misi kemanusiaan.
Dalam konteks ini, peran Dispen TNI AU menjadi sangat strategis. Tidak hanya sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai manajer citra institusional. Setiap konten yang diunggah harus selaras dengan nilai yang ingin ditanamkan kepada publik. Ketika pesan, tindakan, dan realitas berjalan seiring, kepercayaan publik akan menguat.
*) Penulis saat ini Mahasiswa S2 (Magister By Project) Universitas Padjadjaran